11 September 2006

Minyak Ternyata Langka

Sejak tiga minggu yang lalu, telah terjadi kelangkaan BBM di negeri ini. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro pada tanggal 14/6/2005 telah menyatakan, “Itu bukannya karena menipisnya cadangan BBM di dalam negeri,” Dia juga menyatakan, “Sebetulmya kalau kita bicara stok kita bicara ongkos. Semakin lama stok yang disediakan makin tinggi ongkosnya,” Dia juga menambahkan, “Pertamina sebagai penyalur tunggal tak punya anggaran,”

Menteri BUMN Sugiharto pada tanggal 22/6/2005 juga telah menjelaskan bahwa sebab kelangkaan BBM bukan karena minimnya persediaan, tetapi karena terlambatnya pembayaran dana dari Departemen Keuangan ke Pertamina. Dia menegaskan, bahwa stok BBM akan kembali normal pada tanggal 22-24/6/2005.

Akan tetapi, setelah berlalu beberapa hari hingga tiga minggu, persoalan kelangkaan BBM ternyata belum juga terselesaikan. Memang, masalahnya bukan karena minimnya stok dan kapasitas BBM, karena volume dan kapasitas BBM di dalam negeri sebenarnya mencukupi. Sebagaimana yang terungkap dalam makalah berjudul, “The Impact of Oil Industry Liberalization on the Efficiency of Petroleum Fuels Supply for the Domestic Market in Indonesia,” tulisan Dr. Kurtubi, Head Office Pertamina dan Pusat Kajian Minyak dan Energi, bahwa di Indonesia ada sekitar 60 ladang minyak ( basins ), 38 di antaranya telah dieksplorasi, sementara sisanya masih belum. Di dalamnya terdapat sumberdaya energi yang luar biasa, kira-kira mencapai 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Di sana terdapat stok cadangan energi sekitar 9.67 miliar barel minyak dan 146.92 TCF.

Sementara kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak dan 2,26 triliun TCF. Hal ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri. Akan tetapi, mengapa kelangkaan BBM ini bisa terjadi?
Jawabannya, sebagaimana yang dinyatakan Dr. Kurtubi dan Drajad Wibowo (Pengamat Ekonomi INDEF) dalam acara Topik Minggu Ini: Kelangkaan BBM , di SCTV (6/7/2005), bahwa masalahnya kembali pada UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas. Dalam UU tersebut diatur tentang pembatasan kewenangan Pertamina sebagai pemain utama ( singgle player ) di sektor ini, sekaligus memberikan hak/kewenangan kepada perusahaan minyak lain —baik perusahaan domestik maupun asing— untuk terlibat di sektor ini. Pada saat yang sama, Pemerintah mengurangi subsidi untuk BBM sejak awal tahun 2005 dari 70 triliun menjadi 25 triliun saja. Hal ini menyebabkan Pertamina tidak mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap ladang minyak baru. Akibatnya, kemampuan produksi Pertamina juga menurun, baik dari segi volume maupun kapasitasnya.

Memang, sesungguhnya problem kelangkaan BBM ini pangkalnya adalah kelemahan sistem yang digunakan oleh pemerintah, sebagaimana yang tercermin dalam UU No. 2 tahun 2005, yang membuka terjadinya privatisasi pengelolaan minyak, serta memberikan hak/kewenangan kepada berbagai pihak/perusahaan multinasional, nasional, regional, maupun lokal untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak. Bahkan, dibiarkan untuk menetapkan harga.

Sebagai contoh, di Indonesia ada 60 perusahaan kontraktor; 5 (lima) di antaranya masuk dalam kategori Super Majors yaitu: Exxon Mobil, Chevron, Shell, Total Fina Elf, Bp Amoco Arco , dan Texaco , selebihnya masuk kategori Majors yaitu: Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex , dan perusahaan kontraktor independent. Dari 160 area kerja ( working area ) yang ada di negeri ini, perusahaan-perusahaan yang termasuk kategori Super Majors tadi telah menguasai cadangan migas, masing-masing: minyak 70% dan gas 80%. Sementara perusahaan-perusahaan yang termasuk kategori Majors telah menguasai cadangan migas, masing-masing: minyak sebesar 18% dan gas sebesar 15%.

Sedangkan perusahaan-perusahaan yang masuk kategori independent, menguasai: minyak sebesar 12% dan gas 5%. Masing-masing dengan volume dan kapasitas produksi; perusahaan-perusahaan Super Majors : minyak sebesar 68% dan gas sebesar 82%, sementara perusahaan-perusahaan Majors: minyak sebesar 28% dan gas sebesar 15%; sedangkan perusahaan-perusahaan independent: minyak sebesar 4% dan gas sebesar 3%.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home