11 September 2006

Negara Kita, (bias jadi) Negara Pelayan dan Kuli

Sampai dengan saat ini, Pemerintah Indonesia telah memberikan izin 812 eksplorasi kepada pihak asing yang meliputi 75 % wilayah Indonesia. (Ingat sekali lagi: kepada pihak asing). Fakta ini sungguh mencengangkan. Ini berarti bangsa kita ini hanya akan mendapatkan bagian kecil dari kekayaan alam yang demikian melimpah. Kontribusi yang didapat hanyalah dari pajak, retribusi, dan mungkin bagi hasil yang tidak adil alias sangat kecil .

Fakta mencengangkan ini diungkapkan oleh mantan ketua MR RI, Pak Amin Rais yang didapat beliau berdasarkan dokumen dari departemen pertambangan. Pemberian ijin ini telah berlangsung sejak lama, dari presiden satu ke presiden yang lain, sampai sekarang. Nah, untungnya, (inilah ciri khas kita…sudah jelas rugi masih bisa bilang ‘untungnya’)
dari jumlah di atas, baru 10% saja (berarti sekitar 80-an) perusahaan asing yang sudah beroperasi, sementara yang lain baru dalam taraf penelitian.

Coba bayangkan jika ke 800-an perusahaan asing itu benar-benar sudah melakukan kegiatan usaha dan eksploitasi di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke‘, berapa kekayaan alam bangsa kita yang tersedot ke luar negeri. Sementara, bangsa kita hanya menonton saja. Negara kita hanya akan menjadi negara pelayan, dan kuli.

Mengapa? Karena Negara kita hanya menjadi pekerja untuk pihak lain. Bagaimana pelayan dan kuli itu ) …(mohon maaf buat bapak/ibu yang kebetulan berprofesi sebagai pelayan dan kuli alias buruh…seperti saya) Ya hanya bekerja dan bekerja tanpa pernah memiliki usaha sendiri. Artinya ia tergantung pada majikannya.

Begitulah nanti Indonesia jika semua ijin penambangan itu mulai beroperasi…

Wong sekarang saja kalau dicermati, bangsa kita sekarang ini sudah menjadi penonton di negerinya sendiri, ya nggak??!!


Read more!

Busung lapar… sungguh mengenaskan

Seorang anak balita yang menderita busung lapar di NTB akhirnya meninggal. Ibunya yang miskin tidak bisa menebus obat karena tidak punya uang. Puluhan bahkan ratusan balita lain juga mengalami nasib yang sama, menyedihkan, sementara jutaan lainnya mengalami apa yang disebut sebagai 'gizi buruk'. Ironis!
Betul, kasus busung lapar dan gizi buruk di negeri ini sangat ironis karena:

• Muncul pada saat gencarnya kampanye Pemerintah tentang penyaluran dana kompensasi BBM, di antaranya untuk kesehatan dan mengurangi jumlah orang miskin.
• Terjadi di NTB yang dikenal sebagai salah satu lumbung beras nasional.
• Indonesia sudah lama dikenal sebagai negeri yang kaya-raya.

Yang lebih menyedihkan, secara nasional jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia ternyata sangat besar. Menurut hasil Susenas 2003, seikitar 27.3% balita Indonesia kekurangan gizi. Artinya, dari jumlah 18 juta balita pada tahun 2003, 4.9 juta mengalami masalah gizi buruk. Tahun 2005, sesuai proyeksi/prakiraan penduduk Indonesia oleh BPS, anak usia 1-4 tahun adalah sebanyak 20.87 juta. Jika angka 27.3% digunakan, diperkirakan sebanyak 5.7 juta anak balita mengalami masalah gizi buruk. Balita yang mengalami busung lapar atau kekurangan gizi sangat parah adalah sebanyak 8%, yaitu 1.67 juta balita

Negeri ini sebenarnya kaya-raya. Namun sayang, sistem ekonomi yang diterapkan di negeri ini tidak mendistribusikan/menyalurkan kekayaan itu kepada setiap warganya dengan baik. Justru sebagian besar kekayaan dimonopoli oleh sebagian kecil orang. Kurang dari 20% rakyat menguasai 80% kekayaan negeri ini. Sebaliknya, 80% rakyat justru memperebutkan 20% kekayaan negeri ini. Realita ini akan terus seperti ini, bahkan bisa lebih buruk lagi.

Mereka yang miskin akan tetap miskin. Mereka yang sedikit di atas batas kemiskinan akan terjatuh menjadi miskin akibat proses pemiskinan struktural dan sistemik. Sebaliknya, mereka yang kaya akan tetap kaya. Sebab, sistem ekonomi kita cenderung hanya memfokuskan pada pertumbuhan; itu pun pertumbuhan semu, karena ekonomi non-real menjadi salah satu yang utama. Sementara pendistribusian kekayaan dan ekonomi menjadi issu nomor kesekian puluh…

Read more!