11 September 2006

Busung lapar… sungguh mengenaskan

Seorang anak balita yang menderita busung lapar di NTB akhirnya meninggal. Ibunya yang miskin tidak bisa menebus obat karena tidak punya uang. Puluhan bahkan ratusan balita lain juga mengalami nasib yang sama, menyedihkan, sementara jutaan lainnya mengalami apa yang disebut sebagai 'gizi buruk'. Ironis!
Betul, kasus busung lapar dan gizi buruk di negeri ini sangat ironis karena:

• Muncul pada saat gencarnya kampanye Pemerintah tentang penyaluran dana kompensasi BBM, di antaranya untuk kesehatan dan mengurangi jumlah orang miskin.
• Terjadi di NTB yang dikenal sebagai salah satu lumbung beras nasional.
• Indonesia sudah lama dikenal sebagai negeri yang kaya-raya.

Yang lebih menyedihkan, secara nasional jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia ternyata sangat besar. Menurut hasil Susenas 2003, seikitar 27.3% balita Indonesia kekurangan gizi. Artinya, dari jumlah 18 juta balita pada tahun 2003, 4.9 juta mengalami masalah gizi buruk. Tahun 2005, sesuai proyeksi/prakiraan penduduk Indonesia oleh BPS, anak usia 1-4 tahun adalah sebanyak 20.87 juta. Jika angka 27.3% digunakan, diperkirakan sebanyak 5.7 juta anak balita mengalami masalah gizi buruk. Balita yang mengalami busung lapar atau kekurangan gizi sangat parah adalah sebanyak 8%, yaitu 1.67 juta balita

Negeri ini sebenarnya kaya-raya. Namun sayang, sistem ekonomi yang diterapkan di negeri ini tidak mendistribusikan/menyalurkan kekayaan itu kepada setiap warganya dengan baik. Justru sebagian besar kekayaan dimonopoli oleh sebagian kecil orang. Kurang dari 20% rakyat menguasai 80% kekayaan negeri ini. Sebaliknya, 80% rakyat justru memperebutkan 20% kekayaan negeri ini. Realita ini akan terus seperti ini, bahkan bisa lebih buruk lagi.

Mereka yang miskin akan tetap miskin. Mereka yang sedikit di atas batas kemiskinan akan terjatuh menjadi miskin akibat proses pemiskinan struktural dan sistemik. Sebaliknya, mereka yang kaya akan tetap kaya. Sebab, sistem ekonomi kita cenderung hanya memfokuskan pada pertumbuhan; itu pun pertumbuhan semu, karena ekonomi non-real menjadi salah satu yang utama. Sementara pendistribusian kekayaan dan ekonomi menjadi issu nomor kesekian puluh…

0 Comments:

Post a Comment

<< Home